Ilustrasi agama cinta. Sumber: Meta AI

Ilustrasi agama cinta. Sumber: Meta AI


Ahmad Nurcholish

Ketimbang kita melulu menampilkan wajah agama yang seram, garang, penuh amarah, akan jauh lebih baik menampilkan wajah agama yang sejuk, ramah, toleran penuh dengan sentuhan cinta dan kedamaian. Toh, ajaran tentang cinta dapat dengan mudah kita jumpai dalam agama-agama.

Bahkan, ajaran tentang cinta dan juga kemanusiaan dapat kita temukan dalam seluruh agama-agama yang ada di dunia. Cinta dan kemanusiaan itulah yang mempertemukan

semua umat beragama dalam satu semangat cinta-kasih untuk mewujudkan hidup damai.

“Kebenaran akan sangat baik jika dilayani cinta,” terang Mahatma Ghandi suatu ketika. Pencetus gerakan ahimsa, ajaran tanpa kekerasan, asal Porbandar, Gujarat, India ini memang berpandangan, cinta adalah kebajikan utama. Cinta dalam setiap tindakan seseorang –termasuk cinta pada alam semesta—adalah penopang bagi kebaikan tertinggi. Di tangan Gandi cinta menjadi jalan menuju Tuhan –sebuah konsep yang juga bisa ditemukan pada agama dan keyakinan lain di dunia ini.

Dalam dunia sufi, Jalaludin Rumi menyuguhkan konsep “agama cinta”. “Agama” yang melampaui bentuk-bentuk keyakinan dan agama umat manusia yang pernah ada. Para pemeluknya adalah mereka yang hasratnya terbakar cinta kepada Tuhan, tak penting lagi baginya keimanan dan kekufuran. Suatu ketika ia berkata :

“Aku telah membersihkan rumahku dari kebaikan dan keburukan; rumahku hanya diisi dengan Cinta kepada Yang Esa.”

Kecintaan kepada sesama juga dapat ditemukan tertanam kuat pada tradisi Hindu, agama yang tumbuh di anak bedua India yang kini dipeluk 1 miliar jiwa. “Semua umat manusia bersaudara,”  begitu bunyi ayat dalam Veda. Pemeluknya diajarkan berbuat baik kepada sesama seperti pada diri sendiri. 

“Berbuatlah kepada orang lain sebagaimana engkau berbuat terhadap dirimu sendiri. Semua makhluk hidup adalah sahabat karibmu karena semua mereka adalah satu jiwa yang merupakan bagian dari Brahman” (Yagur Veda XI: 16).

Dalam Hindu, sebagaimana perbuatan jahat, perbuatan baik akan berbalas. Inilah doktrin “hukum karma”. Mereka yang berbuat baik, mendapatkan kebaikan. Begitu sebaliknya. Dari konsep cinta itu, Ghandi mennyuguhkan konsep ahimsa, sikap tanpa kekerasan. Ia memperluas dan “mengaktifkan” konsep ini bukan hanya semata-mata menahan diri dari melukai orang lain, tetapi secara positif meningkatkan kesejahteraan mereka, yang pada kenyataannya mencintai mereka. 

Buddhisme mengajarkan agar manusia terlepas dari dukha (penderitaan). Menurut Buddhisme, hidup dalam bentuk apapun adalah dukhayang bersumber dari tanha (hawa nafsu), keinginan tidak pernah puas dan tidak ada habis-habisnya. Manusia harus melenyapkan dukha agar mencapai nirvana (keterlepasan dari semua penderitaan). Ada delapan jalan melenyapkan dhuka dan karena itu kerap disebut Delapan Jalan Utama: pengertian benar (samma-ditthi), pikiran benar (samma-sankappa), ucapan benar (samma-vaca), perbuatan benar (samma-kammanta), pencaharian benar (samma-ajiva), daya-upaya benar (samma-vayama), perhatian benar (samma-sati), dan samadi benar (samma-samadhi).

Ajaran Khonghucu (Konfusius) menekankan sikap dasar bagaimana sebaiknya seorang Susilawan (Kuncu) menghayati kehidupannya. Konfusius mengajarkanantara memperbaiki dunia dan memperbaiki diri sendiri merupakan proses terus menerus layaknya sebuah gerak pendulum yang bergoyang-goyang bolak-balik seumur hidup tanpa henti dalam rangka belajar menjadi manusia sempurna. 

Orang yang hendak memperbaiki dunia harus terlebih dahulu mengatur negerinya. Untuk mengatur dirinya, harus terlebih dahulu membereskan rumah tangganya. Untuk membereskan rumah tanggaharus membina diri. Untuk membina diriharus meluruskan hati. Untuk meluruskan hati, harus memantapkan tekad. Untuk memantapkan tekad, harus mencukupkan pengetahuan.Dan untuk mencukupkan pengetahuan tekadnya, harus meneliti hakikat setiap perkara.

Dalam ajaran Kristen, cinta tidak terbatas pada sejumlah kelas atau kelompok manusia tertentu. Sebaliknya, dalam etika Kristen keberadaan dan manifestasi cinta melampaui batas-batas social dan agama, dan memandang manusia lain (non-Kristen) yang menderita juga sebagai sesama manusia (yang harus dicintai). Cinta kepada sesama  manusia harus bersifat tanpa memihak (lihat Yakobus 2: 9).  

Dalam salah satu kisah yang masyhur versi Lukas tentang perintah cinta, diceritakan bahwa ahli hukum (Taurat) bertanya kepada Yesus, “Siapakah sesamaku?” bagi si penanya, dalam kisah ini, orang Samaria adalah orang asing, yang tak diharapkan (bahkan dianggap hina), yang tidak termasuk ke dalam komunitas si penanya (lihat Lukas 10: 29-37).

Universalitas cinta diujar apik oleh Chiara Lubich. Ia, dalam Meditation (h. 66-67),  menyatakan, “Adalah cinta yang mengetahui bagaimana menyambut kembali saudara yang telah tersesat – entah itu seorang teman, saudara, atau orang asing. Dan, cinta mengampuni orang-orang ini secara tak terbatas. Bahkan, cintalah yang memberi kabar kepada seorang pendosa yang bertobat, lebih dari kepada ribuan orang yang saleh dan taat.”Dia menambahkan bahwa cinta ini “tidak mengukur dan tidak dapat diukur”.Cinta ini berlimpah, universal, dan aktif. (Mahnaz Heydarpoor, Wajah Cinta Islam dan Kristen, h. 88-89).

Bahkan, universalitas cinta dalam Kristen diungkapkan dengan sangat kuat dalam tuntutannya untuk mencintai musuh. Ini sebagaimana dikatakan Yesus:

“Kamu telah mendengar firman: Cintailah sesama manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Cintailah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah, kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang kahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Matius 5: 43-45).

Sayangnya tak selalu kisah damai dan penyebaran cinta ada dalam perjalanan agama-agama tadi. Sebagian agama ini justru pernah dan masih menghadapi aksi-aksi kekerasan dan teror para pemeluknya. 

Di kalangan filosof muslim, dokter dan filsuf asal kota Ray, Iran, Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria al-Razi (863-925 M) tercatat sebagai tokoh yang cukup tajam mengkritik fenomena keagamaan. Dengan cukup keras ia menyatakan agama kadang hadir jadi bencana. Al-Razi menolak konsep kenabian. Baginya, akal sudah cukup untuk mengetahui mana yang baik dan yang buruk. Dengan akal manusia mampu mengetahui rahasia-rahasia ketuhanan dan mengatur segala persoalan hidup.

Tuhan, lanjutnya,tak mungkin menetapkan kenabian pada sekelompok manusia tertentu, yang mempunyai kelebihan atas kelompok manusia yang lain. Padahal semua manusia dilahirkan dengan akal dan kemampuan yang sama. Lagi pula, ajaran-ajaran para nabi itu saling bertentangan yang membuat para pendukungnya saling mendustakan, memusuhi, menilainya sesat, dan lalu membunuh. Banyak manusia binasa karena perseteruan dan peperangan atas nama agama. 

Kritik pedas juga dilontarkan Andrew Norman Wilson, seorang novelis dan jurnalis asal Inggris. Di mata lelaki yang pernah belajar di St Stephen’s House Oxford, kampus teologi Anglikan, ini cinta pada Tuhan adalah akar segala kejahatan.Agama, katanya, adalah tragedi umat manusia.Tidak ada suatu agama yang tidak ikut bertanggung jawab atas berbagai perang, tirani dan penindasan kebenaran. Agama mendorong para penganutnya untuk menganiaya satu sama lain, untuk menggunakan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain, dan untuk mengklaim diri mereka sendiri sebagai pemilik kebenaran. Dengan tandas Wilson mengulas:

“Dikatakan dalam Bible bahwa cinta pada uang adalah akar seluruh kejahatan.Mungkin lebih benar untuk mengatakan bahwa cinta pada Tuhan adalah akar seluruh kejahatan.Agama adalah tragedy umat manusia.Ia mengajak kepada apa yang paling mulia, paling murni, paling tinggi pada ruh manusia, namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidak betrtanggung jawab atas banyak perang, tirani dan penindasan kebenaran. Marx melukiskan agama sebagai candu rakyat; tetapi agama jauh lebih berbahaya daripada candu.Agama tidak membuat rakyat tertidur. Agama mendorong mereka untuk menganiaya satu sama lain, untuk memuji-muji perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bagi diri mereka sendiri kepemilikan kebenaran”.

Serangan atas agama yang tak kalah keras datang dari Sam Harris, seorang penulis sekaligus filsof dari Stanford University.Ia menuding agama sebagai sumber delusi, irasionalitas, intoleransi dan kekerasan. Dan itu terjadi, lanjut Haris, karena mereka mengabaikan akal demi kepercayaan keagamaan. 

Pertanyaan yang segera saja muncul dari kritik-kritik di atas adalah mengapa agama menjadi demikian tak ramah? Pada umumnya tentu menyangkal. “Bukan agamanya yang salah. Para pemeluknya yang keliru memahami dan mengaplikasikan dalam ranah kehidupan,” demikian sering kita dengar. Sebagian lagi mungkin akan menyerang balik orang-orang yang menyalahkan agama tadi sebagai orang-orang yang tak beragaa, kurang ajar, tak beriman dan seterusnya.

Langkah bijak dan tepat, tentu saja mengajak setiap orang menanggapi sekaligus menjawab kritik dengan fakta-fakta sebaliknya dan mengurai akar-akar masalahnya. Mungkin ada yang keliru dengan pemahaman dan penafsiran kita tentang agama yang membuatnya berwajah menakutkan. Mungkin juga ada yang perlu diperbaiki. 

Sekelompok pemikir kristis mengusulkan agar teologi agama-agama perlu diubah dari eksklusivme menjadi pluralisme. Alasan mereka adalah bahwa eksklusivisme tak toleran terhadap perbedaan, monopoli kebenaran (mengaku hanya dirinya sendiri yang benar), memandang yang lain sesat dan kafir, dan cenderung memaksanakan keinginannya kepada yang lain. Eksklusivisme yang sempit, kaku dan tak terkendali cenderung menjadi sumber kebencian dan permusuhan bagi para penganutnya terhadap yang lain. 

Sedangkan pluralisme bukan hanya menghargai perbedaan tetapi juga mengakui bahwa kebenaran tidak bisa dimonopoli satu agama. Pluralisme mendorong para penganutnya bersikap toleran, berdialog, bersahabat, bekerjasama dan setiakawan dengan orang lain. Tapi pluralisme bukanlah paham sinkretisme. Jadi orang tak perlu takut dengan nilai-nilai pluralisme, mereka akan keluar dari agama yang dipeluknya. 

Pluralisme justru menghargai keluhuran nilai agama dan keyakinan yang ada. Kritik-kritik tajam atas agama tadi juga bisa dilengkapi dengan fakta dan doktrin yang tegas pada setiap agama dan keyakinan yang justru mengajarkan cinta dan perdamaian. Yang lebih nyata lagi tentu saja sikap dan perilaku nyata pemeluk agama yang dilahirkan atas dasar cinta. [ ]

Ahmad Nurcholish, penulis buku “Agama Cinta: Menyelami Samudra Cinta Agama-agama” (Elexmedia, 2015).

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *