Ahmad Nurcholish
Hubungan antara agama dan kebahagiaan menjadi salah satu topic menarik sekaligus paling popular dalam kajian tentang happiness. Bahkan dalam studi tersebut melibatkan begitu banyak peneliti dari pakar psikologi sampai pakar ilmu politik. Metode riset juga beragam, dari studi kasus hingga survei global. Di dalam kajian ini juga melibatkan aneka nama besar dan raksasa akademik seperti Robert D Putnam dan Ronald F Inglehart.
Studi tersebut sekaligus membuka mata kita dalam memahami mengapa agama mampu bertahan dalam kurun berabad-abad lamanya. Sejumlah temuan ilmiah yang mencoba membongkar “kesadaran palsu” dibalik kisah dan doktrin agama tetap tak mampu mengenyahkan agama. Agama tetap hidup di muka bumi dengan penganut masing-masing serta dengan segala dinamika di dalam dan sekitarnya.
Lalu apa kesimpulan pokok hasil riset tersebut? Mereka yang terafiliasi dengan agama lebih bahagia dibandingkan dengan mereka yang tak lagi terafiliasi dengan agama. Mereka yang aktif dalam kegiatan (ke)-agama-(an) lebih berbahagia dibandingkan mereka yang tak aktif dalam kegiatan (ke)-agama-(an).
Bahkan, efek kebahagiaan yang diberikan agama menjadi salah satu energy positif bagi pemeluknya. Para penganut agama pada umumnya merasa mendapatkan “penyembuhan” atas beragam persoalan hidup dari doktrin-doktrin agama yang diantaranya menganjurkan untuk bersabar, ikhlas, dan sebagainya. Bahkan pula membuat mereka tetap bergeming terhadap bermacam gempran rasional.
Bagi umumnya individu, meaning of life lebih kuat pesonanya dibandingkan “dekonstruksi rasional” yang mencoba menihilkan agama. Inilah yang kemudian agama masih diposisikan sebagai urutan nomor wahid sebagai dasar utama dalam berkehidupan.
Pertanyaan berikutnya adalah, aspek apa dari agama yang membuat pemeluknya lebih bahagia? Dan aspek apa pula dari praktek agama yang menyebabkan negara agama seperti Afganistan dan Syiria justru masuk dalam list negara yang indeks kebahagiaan paling rendah?
Penelitian yang menjadi landasan hubungan agama dan kebahagiaan, salah satunya, sebagaimana dikutip Denny JA dalam serial tulisannya bertajuk The Science of Happiness, dikerjakan oleh General Sosial Survey. Tak tangung-tanggung, survei ini dikerjakan selama 18 tahun dari tahun 1972-1990. Survei ini melibatkan total 20.000 responden.
Dari data yang terkumpul lalu diolah dan dibuat uji statistik, kesimpulannnya menjadi terang benderang. Mereka yang berafiliasi dengan agama lebih bahagia dibandingkan mereka yang tidak berafiliasi dengan agama.
Beragam studi lanjutan pu dilakukan dengan responden, dan metode yang berbeda. Namun secara garis umum, riset lanjutan itu tiada yang bisa mematahkan kesimpulan: adanya korelasi positif antara kehidupan beragama dengan kebahagiaan, life satisfaction, subyective well-being.
Lalu aspek apa dari kehidupan beragama yang secara langsung memberikan sumbangan bagi penganutnya lebih merasakan kebahagiaan?
Studi yang dilakukan Diener dan Seligman menemukan jawabannya. Aspek dari kehidupan agama tersebut ada pada social network antara penganut agama itu. Manakala variabel social network ditiadakan, mereka yang beragama dan tidak beragama tak lagi terdsapat perbedaan.
Studi tersebut, seperti diulas Denny dalam The Science of Happiness, menyimpulkan, kehidupan agama lebih mampu melahirkan social network antar pengikutnya yang lebih meaningful dan akrab. Dalam relasi social network itu, penganut agama saling berbagi, saling peduli, saling membantu. Social network ini yang membuat penganut agama lebih berbahagia.
Bahkan, dalam uraiannya, Denny menyebut bahwa social network dengan motiv agama itu belum tertandingi oleh social network budaya yang lebih sekuler.
Studi lain dilakukan oleh Salsman dan Robert J. Carlson. Mereka menemukan bahwa kunci penting dalam kehidupan beragama adalah social support. Mereka yang berkomunitas dalam agama merasakan saling membantu, saling mengasihi selaku saudara seiman. Rasa saling mendukung dalam keluarga seiman ini yang membuat penganut agama lebih aman, kuat dan bahagia.
Okulizc-Kozaryn mendetailkan temuan soal hubungan agama dengan kebahagian. Data yang ia temukan menunjukkan nuansa berbeda. Bahwa penganut agama yang hidup dalam negara yang kental agamanya lebih bahagia dibandingkan yang hidup dalam negara yang lebih sekuler.
Sebaliknya, mereka yang kurang beragama lebih bahagia hidup di negara yang sekuler ketimbang di negara yang kental agamanya. [ ]
Ahmad Nurcholish, A Personal Development Coach, Direktur Eksekutif Harmoni Mitra Madania (nurcholish2012@gmail.com).
No comment